VATIKAN – Konsili Vatikan II telah menjadi tanggapan Gereja Universal terhadap cinta Tuhan dan perintah Kristus untuk menggembalakan domba-domba-Nya, kata Paus Fransiskus, saat merayakan ulang tahun ke-60 pembukaan Konsili tersebut.
Konsili itu telah mengingatkan Gereja tentang apa yang “esensial,” tegas Paus: “sebuah Gereja yang mengasihi Tuhan secara mendalam dan mengasihi manusia baik pria maupun wanita yang Ia kasihi,” Gereja yang “kaya akan Yesus dan miskin dalam harta,” Gereja yang “merdeka dan memerdekakan.”
Paus Fransiskus memimpin perayaan Ekaristi 11 Oktober, di Basilika St. Petrus, tempat di mana Konsili tersebut dilaksanakan dalam empat sesi dari tahun 1962 sampai dengan 1964. Tanggal yang sama juga merupakan peringatan St. Yohanes XXIII, yang mengundang dan membuka Konsili tersebut; bejana kaca yang berisi reliquinya ditempatkan di tengah Basilika untuk perayaan tersebut.
Bacaan Injil pada Misa tersebut mengulangi pertanyaan Yesus kepada Petrus, “Apakah engkau mengasihi Aku?” dan Ia memerintahkan, “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”
Dalam homilinya Paus berkata bahwa Konsili tersebut adalah tanggapan terhadap pertanyaan tersebut dan ditandai dengan suatu usaha yang diperbarui untuk menggembalakan domba-domba Tuhan, bukan hanya umat Katoilk, tetapi semua orang.
“Konsili tersebut adalah tanggapan terhadap pertanyaan tersebut dan ditandai dengan suatu usaha yang diperbarui untuk menggembalakan domba-domba Tuhan, bukan hanya umat Katoilk, tetapi semua orang.”
Perdebatan yang mengikuti Konsili tersebut dan terus berlanjut hingga sekarang adalah gangguan terhadap misi Gereja, tegas Paus.
“Kita selalu tergoda untuk memulai dari diri kita sendiri ketimbang dari Tuhan, untuk menaruh agenda-agenda kita sendiri ketimbang agenda Injil, untuk membiarkan diri kita terperangkap tiupan keduniawian untuk mengejar mode saat ini atau untuk membalikkan waktu yang telah diberikan oleh penyelenggaraan-Nya kepada kita,” kata Paus.
Kita umat Katolik harus berhato-hati, katanya, “sebab baik ‘progresivisme’ yang berbaris di belakang dunia dan ‘tradisionalisme’ yang merindukan masa lampau bukanlah bukti cinta, tetapi ketidaksetiaan, yang terbentuk dari keakuan yang mengutamakan selera dan rencana kita sendiri di atas apa yang berkenan kepada Tuhan, yakni kasih yang sederhana, rendah hati dan setia yang diminta dari Petrus.”
“Gereja yang mencintai Yesus tidak punya waktu untuk bertengkar, gossip dan pertentangan,” kata Paus. “Semoga Tuhan membebaskan kita dari sikap mudah mencela dan intoleran, kasar dan marah. Itu bukan soal style tetapi cinta.”
Yesus Sang Gembala Baik, “ingin agar domba-domba-Nya bersatu di bawah tuntunan para gembala yang diberikan kepada mereka,” kata Paus, tetapi Iblis gemar menyemai perpecahan; “marikita tidak menyerah pada bujukannya atau pada godaan polarisasi.”
“Betapa sering, pada saat Konsili itu, kita umat Kristiani cendrung memilih sisi ini atau itu dalam Gereja, tanpa menyadari bahwa hal itu melukai hati bunda kita,” Gereja, kata Paus Fransikus.
Seberapa sering, tanyanya, bahwa mereka suka “menjadi golongan ‘kanan’ atau ‘kiri’ ketimbang berada bersama Yesus? Menganggap diri mereka sebagai ‘penjaga kebenaran’ atau ‘pioner inovasi’ ketimbang memandang diri mereka sendiri sebagai putra-putri Bunda Gereja yang Suci, yang rendah hati dan penuh syukur?”
Konsili tersebut, kata Paus, mengajar Greja untuk melihat dunia sekitarnya dan membagikan cinta Tuhan dengan semua orang. “Jika memang ingin menunjukkan perhatian khusus, itu harus untuk mereka yang paling dikasihi Allah: mereka yang miskin dan tersingkir.”
Dengan perwakilan-perwakilan Gereja Orthodox, Anglikan, dan Protestan yang hadir, seperti saat mereka berada dalam Konsili, Paus Fransikus juga berdoa agar kesatuan yang amat dirindukan, juga bertumbuh dalam setiap orang yang percaya kepada Kristus, “kerinduan untuk memberikan diri kita pada persekutuan penuh antara mereka yang percaya kepda Kristus.”
Sambil mengucap syukur kepada Tuhan atas karunia Konsili itu, Paus memohon kepada Tuhan “selamatkanlah kami dari segala bentuk polarisasi yang adalah pekerjaan Iblis. Dan kami, Gereja-Mu, bersama Petrus dan seperti Petrus, sekarang dapat berkata kepada-Mu: ‘Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu; Engkau tahu bahwa aku mencintai-Mu.”
Paus Fransiskus uyang ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1969, adalah Paus pertama yang ditahbiskan sesudah Konsili Vatikan II. Paus yang terdahulu, Paus Benediktus XVI, menghadiri seluruh sesi Konsili sebagai penasihat teologis – sebagai seorang “peritus” – bagi Uskup Agung Cologne, Jerman. St. Yohanes Paulus II juga mengikuti keseluruhan empat sesi Konsili sebagai peserta, pertama sebagai Uskup Auksilier Krakow, Polandia, dan kemudian sebagai Uskup Agung.
Di antara lebih dari 400 imam yang berkonselebrasu dalam Misa itu, terdapat lima orang yang hadir pada wakti Konsili Vatikan II. ***
Berita ini telah tayang di: https://americamagazine.org