Pastor Petrus Vertenten MSC lahir tahun 1884. Menurut kebiasaan orang Belgia, anak pertama haruslah dinamai Petrus sebagaimana nama kakeknya. 25 tahun kemudian, tepatnya 16 November 1910, Petrus Vertenten memenuhi panggilannya sebagai seorang ‘gembala’ pergi di utus ke tanah misi di Merauke. Ia kemudian ditugaskan untuk melayani wilayah Okaba dan sekitarnya.
Sekitar tahun 1914 mulai muncul penyakit kelamin, namanya ‘Granuloom’. Penyakit ini menular begitu cepat dan banyak membunuh orang Malind. Orang Malind beranggapan bahwa penyakit ini karena guna-guna (kambara).
Apa yang digumuli P. Vertenten di Okaba rupanya juga terjadi di Merauke. Bahkan cenderung lebih parah. Hampir seluruh wilayah terkena dampaknya. Waktu itu di Merauke hanya dilayani oleh dua orang missionaris (Pastor Neyens dan Bruder Jossten).
Kampung-kampung seperti Noari, Spadem sampai Bokem juga kena dampaknya. Wilayahnya berawa-rawa payau. Burung-burung bangau putih yang banyak berkeliaran pun seolah berubah jadi burung nazar, pemakan bangkai. Tangisan demi tangisan, teriakan minta tolong sering terdengar bahkan sampai tengah malam. Situasi ini sungguh menyayat hati.
Hal ini tentu berdampak pada misi Katolik. Memang ada rumah sakit kecil milik misi di Merauke yang dikelola oleh Pastor Van der Kooy, tapi jaraknya jauh dari kampung-kampung. Waktu itu belum diketahui penyakit ini namanya apa, bagaimana penanganannya dan apa obatnya. P. Van der Kooy berusaha menolong sebisa mungkin. Pasien yang belum terlalu parah disuruh pulang dan tinggal dirumah masing-masing, disarankan untuk hidup sehat dan bersih, serta selalu dikunjungi oleh pastor dan diberi obat seadanya. Mereka diminta untuk berdoa, berpasrah pada yang Kuasa sambil menunggu waktunya tiba, antara dua pilihan: hidup atau mati.
Bagaimana cara keluar dari situasi ini? Pastor Vertenten banyak menulis di surat kabar Java-Post mengabarkan tentang situasi sebuah bangsa di Pantai Selatan Papua yang terancam punah. Pastor Vertenten juga membaca dari artikel-artikel dibelahan dunia lain di mana para misionaris berkarya ternyata mengalami hal yang sama, di Afrika Tengah, di Brazilia, dan lain-lain. Akhirnya muncullah ide tentang ‘Kampung Teladan’. Ia berusaha keras mengembangkan ide ini, merancang metode-metodenya serta mendiskusikannya dengan rekan pastor yang lain (konfraternya), serta mendapat izin dari pastor kepala Y.v.d. Kolk.
Pastor Vertenten dalam catatannya menulis, “penyakit kelamin memang sungguh mencabarkan hati. Namun dengan sekuat tenaga kami membangun rumah, cukup untuk 12 pemuda. Pemuda-pemuda tersebut diberi kelambu, selimut, pakaian, dan tembakau. Mereka tidak dilarang menari dan memukul kandara. Ada saat mereka bekerja keras, ada pula saatnya mereka sama sekali tidak mau bekerja. Di lingkungan baru ini, mereka tampak senang; merasa seperti raja. Lama-kelamaan jumlah mereka bertambah. Misalnya di daerah Eromka, jumlah anak umur 0-6 tahun jauh lebih banyak daripada jumlah anak berumur 7-18 tahun. Pemuda-pemuda yang tertua kawin satu per satu. Keluarga baru ini membangun rumahnya yang baru dan sehat. Sampai akhirnya kami menyaksikan munculnya kampung baru yang sehat. Tiap-tiap keluarga punya rumah sendiri. Dekat dengan deretan rumah-rumah tersebut, kami bangun sekolah. Kerangka gedung sekolah terbut dari bambu, dengan dinding gaba-gaba. Atap dari daun sagu dan disana-sini bocor,” tulisnya.
Setiap hari, dengan sepedanya P. Vertenten mengajar di sekolah. Jadwal diatur tiga hari dalam seminggu. Di hari lain, beliau mengatur jadwal mengunjungi satu kampung ke kampung lainnya. Mata pelajaran yang diberikan di sekolah adalah budi pekerti, nasehat-nasehat praktis, menggambar, menulis, berhitung, cerita tentang Eropa, sedikit bahasa Melayu dan pelajaran agama.
Situasi penuh harapan tersebut tidak berlangsung lama. Perang dunia pertama pecah di Eropa dan dengan cepat menyebar penjuru dunia. Tidak ada lagi kiriman dari Eropa baik dalam bentuk finansial maupun missionaris yang diutus untuk datang. Akibatnya penanganan kesehatan jadi terganggu bahkan cenderung tidak lagi terkontrol. Pelan tapi pasti kebrutalan warga kampung kian menjadi-jadi, bahkan kampung teladan juga menjadi kacau.
Dalam kondisi seperti ini, semua missionaris yang ada bahkan nyaris kehilangan harapan. Menunggu keputusan dari pusat misi, pimpinan di Langgur (Kei). Mereka sudah berniat hendak menutup semua kegiatan misi di Wilayah Okaba.
Segala kesulitan belum usai. Setelah bertemu dengan seorang awam bernama Babah Geo, akhirnya P. Vertenten bersama bruder Stanvoort meninggalkan kampung teladan di Okaba (dan asrama) berisi 90 anak dan berlayar menuju Merauke.
Akhir 1915, semua missonaris yang hanya berjumlah 4 orang untuk wilayah selatan Papua akhirnya berkumpul di Merauke. Mereka adalah Pastor Neyens, Pastor Vertenten, Bruder Joosten, dan Bruder Stantvoort. Wilayah Wendu kemudian ditinggalkan dengan pertimbangan perkembangannya cenderung statis dan wilayahnya tidak terlalu jauh dari Merauke sehingga pelayanannya langsung dari Merauke.
Tahun 1916 datang telegram dari Langgur berbunyi “kas keuangan telah kosong”. Para missionaris pun memilih untuk tetap bertahan sambil terus merawat orang sakit dan mengunjungi mereka. Bruder Joosten mulai pangkur sagu bersama anak-anak, menanam kumbili, petatas, pisang, tomat, bawang dan lain-lain. Mereka mulai menjahit pakaian yang nantinya dibawa ke kampung teladan.
Di daerah Urumb, Nohotiv, sampai Anasai masyarakat bersama Bruder Stantvoort membangun ‘polder-polder’ atau parit dengan gundukan tanah setinggi orang dewasa yang disebut wambat. Bruder membangun sistem irigasi sekaligus menatanya. Begitu juga wilayah Spadem sampai Borem. Pastor Vertenten bersama masyarakat mandi-mandi lumpur membangun sistem kanalisasi saluran air untuk mengalirkan air slobar langsung ke laut. Mirip di Belanda. Kampung-kampung teladan kembali didirikan di wilayah sekitar Merauke.
Pastor Vertenten adalah ‘manusia super’. Ditengah segala kekurangan, keterbatasan sambil merawat dan mengunjungi orang sakit, ia masih sempat menulis buku katekismus kecil dalam bahasa Malind dan selesai pada Maret 1917. Buku ini disusun supaya orang memiliki pengetahuan berapologia tentang iman ke-katolikan. Setelah itu, ia juga menyelesaikan kamus dan gramatika Malind (bersama dengan P. van de Kolk) yang terbit tahun 1922.
Tahun 1917 Pastor Vertenten kembali ke Okaba.
April 1918 datang surat dari pemerintah yang berbunyi, “Dengan penuh respek kami minta kepada misi, agar menangangi perawatan medis pasien penyakit kelamin pada Suku Malind, khususnya memulai pemberantasan penyakit itu”.
Surat ini berarti pemerintah sudah “angkat tangan” menangani penyakit tersebut.
November 1918 kapal Van Inhof merapat di pelabuhan Merauke. Masalah baru muncul, ternyata menjadi sumber menularnya Flu Spanyol. Lebih ganas dari granuloom.
Tanggal 18 Desember 1918, Kampung Buti tercatat yang pertama terkena wabah ini. Dengan segera menyebar ke kampung-kampung lain. Orang menjadi makin panik, anak-anak asrama pergi kasih tinggal asrama. Orang-orang memilih untuk lari ke dusun-dusun masuk hutan dan tinggal dipondok-pondok. Bruder Stanvoort juga kena flu ganas ini. Sementara Bruder Joosten mulai sakit-sakitan. Sepertiga dari penduduk kampung Borem-Serira, jadi korban keganasan Flu Spanyol.
Yang masih kuat lari ke hutan. Orang-orang tua renta dan yang sakit ditinggalkan dalam kampung sampai maut menjemput mereka. Pastor Neyens berpatroli di kampung-kampung sebelah kiri kali Maro, sedangkan Pastor Vertenten di sebelah kanan kali Maro. Sekembalinya dari patroli, Pastor Neyens berkesimpulan bahwa nampaknya inilah waktunya untuk mengakhiri misi di Selatan Papua. Situasi sudah benar-benar sangat sulit dan tidak ada lagi harapan.
Pastor Vertenten tetap teguh, “dulu kita masih punya harapan, kini kita juga masih punya tiga per empat harapan”. Ia tetap menyalakan harapan dalam dirinya bahwa ada jalan terang di depan sana, walau tak tahu kapan akan mencapai jalan itu.
Menurut catatan Pastor Jan Boelaars dari April 1914 hingga Mei 1919 terdapat 40% orang Malind yang meninggal selama periode tersebut.
Pastor Vertenten terus menulis dan mengabarkan kepada dunia luar. Ia rutin menulis untuk koran Java Post dan koran-koran lain baik di Hindia Belanda maupun luar negeri. Hasilnya, bantuan mengalir dari berbagai pihak hingga terkumpul 1000 gulden. Uskup Batavia, Mgr. Luypen SJ, yang pertama kali menyumbang. Banyak pihak juga menyumbang pakaian-pakaian bekas yang nantinya akan dibagikan kepada anak-anak asrama dan warga di kampung teladan. Anak-anak yang ada di kampung teladan juga akan disubsidi setiap bulan setiap anak 50 gulden oleh pemerintah.
Tahun 1918 ia menulis surat untuk Volskraad atau Dewan Rakyat di Batavia (sekarang Jakarta). Di Belanda sendiri seorang anggota Tweede Kamer (setingkat DPR) J.H.F. Van Zadelhoff mengajukan interpelasi kepada pemerintah mengenai benar atau tidaknya berita dari Pastor Vertenten tersebut. “Kalau benar, tindakan apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk menyelamatkan orang Kayakaya atau orang Malind?”
Pertengahan 1919 Menteri de Graat mengirim telegram kepada Gubernur Jendral di Batavia, lalu diteruskan sampai ke Merauke. Isinya: “Menurut pendapat misi, bagaimana rakyat Malind dapat diselamatkan? Apakah misi punya rencana tertentu untuk diusulkan?”
Tahun 1920, Pastor Vertenten dipanggil ke Langgur. Di sana, bersama Prefek P. Nollen dan Superior MSC P. v.d. Kolk menyusun rancangan misi untuk Merauke. Awal September 1920 rancangan ini dikirim langsung ke Pemerintah Hindia Belanda di Batavia.
Tak butuh waktu lama, surat balasan datang dari Kepala Dinas Kesehatan Rakyat di Batavia, yang menginformasikan akan mendukung kerja-kerja yang sudah dilakukan selama ini serta mengirim obat-obatan. Tahun 1920 juga dibuka Kantor Pos di Merauke untuk memudahkan korespondensi. Akhir Desember 1920 datang ke Merauke dr. Cnopius (ahli penyakit kelamin). Ia memeriksa pasien dengan teliti, mengambil sampel serta menelitinya. Akhirnya ia menemukan obat yang tepat untuk mengatasi granuloom yaitu tartarus emeticus. Bersamaan dengan itu, pemerintah bersama dengan misi bahu membahu mengawasi pembangunan kampung teladan di Merauke, Kumbe, Okaba, dan Wambi.
28 Januari 1921 adalah hari bersejarah. Pastor Petrus Vertenten, sang Pastor kampung itu memberikan pidato di depan Gubernur Jendral Hindia Belanda Graaft van Limburg Stirum, Kepala Biro Luar Jawa, Kepala Dinas Kesehatan Rakyat, sejumlah pejabat-pejabat tinggi serta Volskraad di Batavia. Ia berkisah tentang orang Kayakaya. Ia menceritakan dengan detail, menampilkan data-data yang akurat. Ulasannya begitu dipuji oleh semua yang mendengarkan pidatonya. Pemerintah akhirnya menerima program-program yang ditawarkannya dan menjamin akan memberi subsidi selama 5 tahun.
Program tersebut antara lain:
Hal ini tentu kabar menggembirakan karena beban misi menjadi ringan dan manusia Malind bisa diselamatkan.
11 Maret 1921, P. Vertenten berlayar pulang ke Merauke. Karena misinya terbilang berhasil dan banyak orang menaruh perhatian pada orang Malind, ia akhirnya mendapat julukan De redder van de Kajakaja’s atau “Penyelamat orang Kayakaya” (Orang Malind).
Tahun 1920 mulai berdatangan guru-guru ke Merauke untuk mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan dalam kampung teladan. Pastor H. Geurtjens MSC datang bersama dua orang guru. Salah satunya adalah Philipus Ulukyanan. Pastor Geurtjens tinggal di Okaba dan meneruskan studi bahasa dalam bentuk naskah yang sudah dimulai oleh P. Vertenten dan P. v.d. Kolk.
Setelah itu, menyusul rombongan guru berikut seperti Casianus Maturbongs di Buti, Heronimus Talaut di Wendu, Martinus Rettob di Kumbe, Agustinus Tuyu di Kaiburse, Thomas Rettob di Nohotiv, dan lain-lain.
Atas berbagai cinta dan jasanya besar bagi orang Malind ia mendapat panggilan/gelar “AMAY” atau Bapak. Tidak ada orang lain selain beliau yang mendapat julukan ini.
Sumber: Buku Kami Missionaris Seri II Tanah-Tanah Rawa, karya P. Herman Pongantung MSC.